Cha's Story

Red Shoes – Chapter 9

red-shoes-2

Sebulan kemudian, Louise sudah ada di kota Theoras yang sudah lama ditinggalkannya. Kota penuh kenangan, tempat dia menghabiskan sebagian besar waktunya sebagai seorang petualang.

Pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, menyadari perubahan di kota yang menjadi bagian utama dari kerajaan Lofein. Beberapa bangunan baru telah berdiri padahal sebelum tidak ada terakhir Louise berada di sana. Semua tampak familier sekaligus asing di saat yang sama. Baru setahun lebih pemuda itu meninggalkan Theoras dan dia baru menyadari kalau dia merindukan kota ini. Theoras sudah seperti rumahnya sendiri meski dia hanya tinggal di sini beberapa tahun.

Kini, pemuda itu menyusuri jalanan setapak di pinggir kota. Mulai tidak banyak bangunan besar di sana, hanya ada beberapa rumah dan toko-toko kecil. Selain itu, pepohonanlah yang mendominasi di setiap sudut.

“Apa benar lewat sini?” gumamnya pelan sembari berhenti sejenak.

Louise mulai ragu apakah jalan yang diambilnya memang benar. Namun, menurut informasi yang didapatkan dari guild tempatnya bernaung dulu, ini benar. Dia hanya harus mengikuti jalan ini untuk bisa sampai ke kediaman Alfred Vernon. Rumah sekaligus guild yang dibangunnya sekarang.

Alfred mendirikan guild?

Itu sungguh mengejutkan.

Dari kabar yang didengar Louise, sahabatnya itu memang sudah mendirikan guild sendiri—sejak beberapa bulan yang lalu. Jelas, Louise hanya bisa tercengang mendengarnya. Dia sampai tak bisa berkata-kata. Merasa syok dan tak bisa percaya.

Mengapa Alfred tak memberitahunya? Apa dia sengaja menyembunyikannya sewaktu dia berkunjung ke Diorando? Padahal, guild Alfred saat itu sudah mulai berjalan. Apakah itu alasan sejujurnya di balik kedatangan Alfred ke rumahnya? Apakah pemuda itu berniat mengajaknya bergabung di guild impiannya?

Argh, entahlah. Louise hanya bisa terus merutuk jengkel karena Alfred menyembunyikan hal sepenting ini. Awas saja kalau mereka bertemu. Alfred bakal mati!

Louise memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, sampai langkahnya terhenti di ujung jalan. Sebuah bangunan berukuran sedang berdiri di sana, dengan arsitektur unik. Benar-benar tempat yang menarik. Beberapa orang berbaju petualang tampak keluar masuk dari sana. Beberapa mereka duduk di tepi kolam kecil di depan bangunan itu sembari berbincang.

Di sisi bangunan tempat orang-orang keluar masuk—yang diduga Louise adalah guild—, ada bangunan lain yang sedikit lebih kecil. Di depannya, sebuah taman tampak menghiasi—membuatnya terlihat indah.

Louise bisa merasakan kesederhanaan sekaligus kenyamanan menyeruak dari sana. Tanpa sadar, dia tersenyum melihat pemandangan di depannya. Ini sungguh familier. Hanya dengan melihatnya, Louise sudah bisa tahu pemilik bangunan ini. Tentu saja Alfred dan Luna. Karakteristik mereka jelas menguar kuat dari sana. Benar-benar bangunan yang mewakili sahabatnya.

Mata pemuda itu menangkap sebuah titik—tepatnya papan nama yang tergantung di gerbang kompleks bangunan tadi.

Brave Hunters Guild

Senyum Louise kembali terkembang lebih lebar dari sebelumnya. Dulu, Alfred dan Louise pernah bermimpi ingin mendirikan guild dengan nama itu. Ya, itu waktu mereka masih bertualang bersama. Ternyata, Alfred berhasil mewujudkan mimpinya. Meski Louise pada akhirnya menyerah dengan jiwa petualangnya, dia tetap merasa bahagia karena guild itu bisa berdiri.

Pemuda bersurai cokelat gelap itu masih berdiri di depan gerbang—memandangi papan nama tadi sembari mengingat masa lalu, saat terdengar teriakan melengking. Cukup memekakkan telinganya.

“Louise Silverthorne! Apa itu kau?”

Belum sempat melihat siapa yang memanggilnya, satu sosok sudah memeluk Louise erat, sampai-sampai dia tak bisa bergerak. Awalnya, pemuda itu berniat membiarkan dirinya dipeluk seperti itu. Namun, karena paru-parunya mulai menjerit meminta pasokan udara sehingga dia bisa tetap hidup, Louise pun mencoba melepaskan diri.

“A-Aku—Aku tak bisa bernapas—” erangnya di sela-sela napas sesaknya.

Sosok tadi buru-buru melepaskan pelukannya—membuat Louise bisa menarik napas panjang. Lega akhirnya bisa menghirup udara kembali.

Luna Fortezia yang kini sudah berubah nama menjadi Luna Vernon langsung memukul-mukul lengan Louise, melampiaskan kekesalannya selama ini. Meski begitu, air mata tampak menyusuri pipinya yang kini lebih tembam dibanding dulu.

“Kau benar-benar bajingan tengik, Lou! Bagaimana bisa kau pergi tanpa kabar? Memangnya, kami ini bukan sahabatmu sehingga kau bisa menghilang begitu saja? Dan, mengapa kau lama sekali tak mengabari kami? Tidakkah kau rindu pada iparmu ini?”

Dengan perutnya yang mulai kelihatan membuncit, Luna kembali memeluk Louise. Kali ini lebih lembut dan tidak seerat tadi—melampiaskan kerinduan pada sang sahabat yang akhirnya muncul setelah setahun lebih menghilang.

Louise membalas pelukan Luna sembari mengelus-elus punggungnya. “Maaf, Luna. Aku sungguh minta maaf. Semua terjadi begitu saja.”

Kedua sahabat itu tengah menikmati reuni, kala sebuah pedang mendadak teracung melewati bahu Louise dari belakang. Mata Louise melebar, jantungnya berdebar kencang. Apa ada yang salah paham dengan kejadian barusan—saat dia memeluk Luna?

Pemuda itu melepaskan pelukannya lalu menoleh dengan hati-hati. Dia sudah siap menjelaskan—atau melawan kalau memang terpaksa—jika memang ada salah paham.

Dan, Alfred ada di sana, menunjukkan seringai khasnya. Pedang disarungkannya kembali sebelum Alfred memeluk Louise. “Kau datang, Lou. Kau benar-benar menepati janjimu. Aku sudah menunggu kedatanganmu sejak lama.”

.

.

“Jadi, untuk apa kau kemari? Apa kau berubah pikiran dan ingin bergabung dengan kami?” tanya Louise sumringah begitu dia menyambut sang sahabat di ruang tamu. Tak pernah dia sangka kalau Louise Silverthorne bakal datang ke Theoras lagi.

“Aku tidak tertarik bergabung denganmu. Dasar menyebalkan. Mengapa kau tak memberitahuku masalah guild barumu?”

Luna yang menjawab, “Karena dia ingin kau kembali sendiri ke Theoras. Alfred ingin mengejutkanmu. Tapi, nyatanya, dia gagal membawamu ke sini. Itulah sebabnya dia mengurungkan niat memberitahumu.” Istri Alfred itu tertawa renyah sembari mengelus-elus perutnya. “Jadi, apa alasanmu ke Theoras, Louise? Apa karena rindu padaku?”

Louise terkekeh lalu merogoh kantong pakaian cokelat muda yang membalut tubuhnya. Diambilnya sebuah benda dari sana sebelum menyerahkannya pada pemilik Brave Hunters Guild.

“Aku mendapatkan undangan untuk datang ke sini,” jelas Louise sembari meraih sebuah apel yang tersaji di depannya. Apel merah itu begitu menggoda dan dia segera memakannya.

Alfred menautkan alis, sementara bibirnya berkerut begitu membaca surat dalam amplop berwarna keemasan it. “Kau dapat surat panggilan dari istana? Memangnya ada apa?”

Louise hanya mengedikkan bahu. “Entahlah. Justru itu yang ingin kutanyakan. Dua minggu yang lalu, aku menerima surat ini dari seorang pemuda yang mengaku utusan istana. Aku diminta menghadap raja. Namun, aku sendiri tak tahu mengapa aku dipanggil secara pribadi seperti itu. Saat kutanya, utusan itu tak mengatakan apa pun padaku. Karena tak yakin dengan apa yang kulakukan, aku pun memutuskan untuk ke sini. Aku juga ingin tahu apa ini surat asli atau palsu.”

Luna merebut amplop dari tangan Alfred. Matanya memicing saat mencermati benda keemasan yang menguarkan bau harum itu. “Ini asli. Hanya Kerajaan Lofein yang memakai amplop seperti ini. Baunya pun khas. Terlebih segel kerajaan ini asli. Aku yakin seratus persen karena aku sering melihatnya saat kecil. Ayahku sering menerima surat perintah dari istana. Mm, aku jadi ikut penasaran mengapa kau dipanggil ke istana, Louise. Apa kau membuat kesalahan?”

“Sendainya saja aku tahu—” kata Louise lemah. Dia memandangi daging apel yang tadi dia gigit mulai berubah warna menjadi kecokelatan.

Alfred menggigit bibir bawahnya. Keningnya berkerut. “Apa ini berhubungan dengan keputusanmu menghilang begitu saja dari guild kota Theoras?”

“Hei! Apa hubungannya itu dengan istana? Apa aku sepenting itu sampai keberadaanku dicari? Itu tidak mungkin!” seru Louise setengah jengkel mendengar kemungkinan tak masuk akal dari Alfred.

“Ya, siapa tahu saja,” tanggap Alfred enteng. “Mm, apa mungkin malah berhubungan dengan sepatu merahmu? Kau berhasil membuatnya, kan?”

Kepala Louise terteleng sejenak sebelum mengerang. “Aku memang berhasil membuatnya, Lou. Tapi, aku—ah, apa mungkin aku tak sengaja menolak utusan yang dikirim raja secara diam-diam untuk membeli sepatu itu, ya? Terlalu banyak orang yang datang untuk menawar sepatuku. Semua kutolak karena mereka tak mau membayar sesuai dengan harga yang kutentukan. Menurutmu, mungkinkan itu terjadi?” Pertanyaan itu menggantung di udara.

“Mungkin saja.” Alfred mengangguk-angguk, memikirkan kemungkinan itu memang bisa terjadi. “Lalu, bagaimana dengan sepatu merahnya? Sudah terjual? Kau sudah menemukan gadis itu?” lanjut si pemuda bertubuh kekar bersemangat. Matanya tampak berbinar-binar, penuh harap.

Louise terdiam lalu terkekeh. “Aku berhasil menjual sepatu merah lainnya dengan harga sesuai. Tapi, tidak sepatu merah yang kubuat pertama kali. Maksudku, sepatu yang kauminta tidak laku. Meski banyak orang tertarik, tak seorang pun cocok memakainya. Lagi pula, mereka berpikir itu terlalu mahal. Padahal di antara sepatu dari kulit pemberianmu, sepatu itu yang bisa kubilang sempurna.”

Alfred tak menanggapi. Dia memilih menunggu. Luna yang tak mengerti apa pun juga ikut menanti Louise melanjutkan ceritanya.

“Anehnya, seorang gadis pengemis yang datang ke rumahku saat badai cocok memakainya. Ukurannya sangat pas. Aku sendiri terkejut melihatnya. Karena dia lebih membutuhkan sepatu—dan hanya sepatu itu yang cocok—, maka kuberikan padanya secara cuma-cuma.”

Mata Alfred langsung terbelalak, tak percaya dengan cerita yang barusan didengarnya. Mulutnya menganga lebar. Sekarang, dia hanya berharap ini mimpi—atau setidaknya, dia salah dengar. Louise sedang bercanda, kan? Bagaimana mungkin Louise malah memberikan sepatu merah dari kulit langka itu ke seorang pengemis? Tanpa meminta imbalan pula!

“Hei—Hei, Lou—Kau sudah gila?!” Pemuda itu berseru, setengah tergagap. Wajah Alfred berubah merah padam. Antara rasa tak percaya, kecewa, marah—semua perasaan bercampur aduk menjadi satu.

Luna mengerjapkan mata, tak mengerti bahasan kedua sosok yang berarti dalam hidupnya. Sepatu merah? Gadis impian? Apa-apaan itu?

“Er, sebenarnya apa yang sedang kalian bicarakan? Apa setidaknya kalian menceritakan padaku supaya aku mengerti apa yang terjadi?” tanya Luna sambil mengerang.

Alfred menghela napas panjang, menekan emosinya, lalu mulai bercerita apa yang terjadi. Di sela tawa karena kejadian konyol itu, Louise pun ikut menambahkan. Namun, Louise harus menyiapkan diri. Dia yakin sepenuhnya bahwa cerita ini akan sangat panjang dan memakan waktu. Tentunya, tak akan lepas dari komentar Alfred dan Luna. Ya, Louise harus benar-benar menyiapkan diri.

Bersambung

Yaps, sampai di sini sudah mulai sedikit panjang. Dan, akhir sudah dekat. Bagaimana nasib Louise? Akankah dia sendiri sampai akhir?

3 thoughts on “Red Shoes – Chapter 9”

  1. Kayanya itu lucia yang putri kerajaan deh haha sumpah ini ngarang banget … maap mbak baru sempet baca ,untung diingetin

Leave a comment